Menuju Cimahi

Hari itu agak berbeda dari perjalanan mudik kita yang biasanya. Stasiun keberangkatan dan tujuan, rangkaian kereta, kursi-kursi di dalam gerbong, bahkan suara dan obrolan para penumpangnya. Jarak orang-orang yang lebih berdekatan membawa suasana terasa lebih hangat. Ada tukar senyum, celoteh para bocah penonton kanal hunting mainan, saling angguk seperti bertemu tetangga, dan momen berpamitan saat hendak turun. 

Seperti biasa, aku memang suka bertanya padamu tentang apa saja. Seperti anak-anak kepada orangtuanya. Dan di salah satu sesi tanya jawab itu, kita mengobrol tentang perempuan. Dan cara yang dipilih oleh masing-masing orang untuk menjalankan berbagai peran, terutama sebagai seorang ibu.

Lalu kita juga membahas tentang perubahan zaman dan bagaimana setelah dewasa anak-anak akan mengenang momen bersama ibu. Ada yang mengingat masakan ibu. Ada yang rindu bertamasya bersama ibu. Ada yang mengingat momen saat panas-panasan berladang bersama ibu. Dan mungkin ada juga yang terkenang perpaduan aroma gosong + parfum pakaian semprot saat menemani ibu menyetrika baju. 

Setelah obrolan selesai, aku memandang ke luar jendela kereta. Terlihat pemandangan sawah hutan dan tebing yang tinggi saling berganti. Bukan pemandangan yang aneh. Masih sama dengan yang selalu kami lihat tiap kali perjalanan mudik.

Tapi obrolan tadi terus terngiang di telingaku. Seorang anak sedang duduk di depanku, sibuk dengan khayalannya tentang kereta dan semboyan 35. Sedangkan yang seorang lagi tertidur pulas di pangkuan dengan mulutnya yang menganga.

Dan air mata terbit di pelupuk mataku.

Aku tidak tahu bagaimana mereka akan mengenangku. Potongan memori seperti apa yang akan tertinggal di kepala mereka.

Apakah pesan cintaku akan sampai lewat masakanku? Atau jangan-jangan, raut kecewaku karena makanan yang tak habis yang mereka ingat?

Apakah sentuhan tanganku yang hangat akan mereka ingat, saat suatu hari kuku-kuku itu bisa mereka gunting sendiri?

Apakah aku cukup?

Atau, akankah suatu hari mereka harus menyembuhkan diri dari pengalaman buruk bersamaku?

Karena itulah, air mata pun jatuh..

Halo blog berdebu.

Aku enggak tahu apakah aku bakal bisa nulis rutin lagi di sini. Sejak terakhir aku posting, aku cuma mengunjungi blog ini beberapa kali. Itupun cuma untuk copas beberapa puisi/cerita buat kuposting di IG. Tapi beberapa waktu lalu ada seorang temen yang mau pakai second akunku buat belajar copywriting. Berawal dari situ, kemudian dia juga membuatkan blog wp. Dan aku jadi tertarik mau nulis juga di sana pengalaman dampingin anak belajar.

Setelah aku coba posting di sana, ada sensasi nostalgic yang menyenangkan. Aku juga jadi inget momen-momen di mana aku sering nulis di sini. Yah, walaupun tulisan waktu itu sering bikin aku mual ketika dibaca sekarang. Tadi, aku coba untuk login di sini. Alhamdulillah laptop ini atau mungkin akun googlenya masih inget password untuk masuk ke akun wp ini.

Dan aku baru nyadar ada komen yang masuk dari temen lama. Terima kasih udah mampir yaaa. Lumayan banget buat nambahin mood booster.

Belakangan ini lagi ngerasa agak ramai dengan lingkungan sekitar medsos. Hahahahaha. Sehingga aku jadi sering merindukan hari-hariku yang sepi dan temen yang itu-itu aja udah gitu jarang kontakan pula.

Pada akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa sepertinya aku ingin jadi orang yang biasa aja. Masih ingin bengong berlama-lama dan gak rela kalau sampai jatah waktu bengongku berkurang. hehehehe.

[ FF ] : Kabari Aku

Aku mempunyai seorang istri yang cantik dan pintar. Selain itu, ia juga sangat terampil mengurus rumah. Sejak menikah dengannya, hidupku terasa sempurna. Ia hampir tidak memiliki kekurangan. Hampir.

Kekurangannya hanya satu. Setiap hari sebelum berangkat ke kantor, ia selalu mewanti-wanti.

“Kabari aku kalau kau akan pulang terlambat.”

Awalnya aku tidak mempermasalahkan itu. Aku cenderung suka dan menganggap perangainya itu sangat romantis. Tapi lama-kelamaan aku merasa gerah. Pasalnya, tak sehari pun ia absen mengucapkan kalimat itu. 

“Mengapa sih kau selalu mengatakannya? Aku kan selalu bilang tiap kali pulang terlambat,” protesku suatu hari.

“Aku akan sangat cemas. Jadi kau harus melakukannya. Aku mohon,” katanya setelah cukup lama berpikir hingga dahinya seperti akan berkerut selamanya.

Secemas itu kah?

Aku rasa ia hanya berlebihan.

Lalu suatu hari, ada sebuah rapat dadakan yang harus kuhadiri. Rapatnya baru dimulai 30 menit sebelum waktu pulang. Aku pasti pulang terlambat.

Lima menit menjelang pukul lima sore, aku mengambil ponsel dari kantong. Ada pesan dari istriku.

On time, kan?

Aku sudah mengetikkan balasan.

Sepertinya terlambat sedikit. Ada rapat.

Tapi kemudian aku tidak mengirimkan balasan itu. Aku ingin tahu bagaimana reaksinya kalau aku tidak ‘lapor diri’.

Ponsel itu, aku masukkan lagi ke dalam saku.

Menit demi menit berlalu. Tanpa terasa rapat itu sudah berjalan hampir satu jam lamanya.

“Demikian kesimpulan rapat kali ini. Terima kasih atas kehadirannya.”

Hore!

Aku bergegas merapikan barang-barangku. Motor matic kesayangan sudah menunggu di tempat parkir. Tiba-tiba ada kerinduan yang terasa sangat menusuk dada. Aku melirik ponselku di saku. Lampu notifikasinya berkedip kecil. Pasti istriku mengirimkan pesan. Biar nanti saja kubaca.

Perjalanan dari kantor ke rumah kali ini terasa berbeda. Jarak yang hanya lima kilometer terasa bagai seumur hidup. Sesampainya di depan halaman rumah, aku hampir memeluk gerbang sangking leganya.

Aku mengucap salam dan cepat-cepat masuk. Aku menyembunyikan senyum senang, penasaran pada apa yang akan dikatakan istriku.

“Sayang, i’m home.

Istriku ternyata baik-baik saja. Ia tetap cantik dan wangi. Aku merasakan senyumnya membelai wajahku. Tapi ia berubah. Ia menjadi udara.

[ FF ] : Di Sisi Mutiara

Matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela kamarku. Cahayanya yang menyilaukan membangunkanku dari mimpi singkat yang sama seperti kemarin. Ya, aku bermimpi melihat Mutiara lagi. Kali ini wajahnya terlihat dari samping. Seperti ia berjalan di samping kananku. Setelah aku pikir-pikir, itu adalah mimpi yang aneh karena aku hampir tidak pernah berjalan di sampingnya.

Biasanya Mutiara berjalan agak di depanku. Mengapa begitu, aku tidak pernah benar-benar memikirkan alasannya. Kurasa karena aku memang suka berjalan sedikit lebih lambat darinya. Lagipula bahu Mutiara yang kecil itu sangat mempesona kalau dilihat dari belakang. Mungkin itu salah satu alasan terbaik yang mampu aku ingat.

“Cepatlah.”

Begitu Mutiara sering berkata. Ia menyuruhku cepat-cepat dan menjajarinya. Tapi aku hampir tidak pernah mau. Dia akan memandangiku dengan sedikit kesal lalu berjalan lebih cepat lagi. Apakah itu penyebabnya meninggalkanku? Jangan-jangan begitu.

Aku memang tak pernah bertanya. Waktu ia mengatakan ingin berpisah, aku seperti tahu bahwa itu akan terjadi. Sehingga alih-alih bertanya, aku hanya bilang, “begitu ya.”

Dan pergilah Mutiara meninggalkanku. Ia terlihat sungguh-sungguh menginginkan perpisahan itu. Tapi saat berbalik badan untuk pergi, aku melihat air mata menuruni pipinya dengan deras. Jika begitu menginginkannya, mengapa ia malah bersedih saat itu benar-benar terwujud? Ah, aku tidak pernah mengerti wanita itu. Aku tidak pernah mengerti wanita manapun.

“Semalam aku bermimpi kau mengatakan bahwa kau ingin berpisah,” kata Mutiara suatu hari.

“Lalu?”

“Lalu aku bilang, ‘ya sudah kalau begitu.’ Tapi aku menangis waktu terbangun.”

“Benarkah?”

“Tentu saja. Aku kan mencintaimu.”

Itu adalah satu-satunya kesempatan Mutiara mengucapkan kata cinta kepadaku. Bahkan saat aku mengungkapkan perasaan sukaku padanya, ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya tersenyum lalu menggenggam tanganku yang basah karena embun dari gelas plastik berisi es cendol yang kupegangi selama hampir sejam. Waktu aku minum, es cendolnya sudah tidak terlalu enak. Tapi aku menyantapnya dengan semangat, sebab Mutiara sedang bersandar di bahuku.

Ya, dia duduk di samping kananku. Tersenyum, menyelipkan rambut hitam lurusnya ke belakang telinga, lalu menyandarkan kepalanya yang kecil ke bahuku yang gendut.

Aku ingat sekarang, saat itulah aku melihatnya berada di samping kananku.

Wajahnya waktu itu dan wajahnya di mimpi barusan sama persis.

Matahari semakin meninggi. Aku menyingkapkan selimut dan bergegas keluar menuju beranda. Angin lembut mengusap keningku yang kegerahan. Aku bahagia, Mutiara. Ternyata kau memang pernah di sisiku.


367 kata

tahukah kau, neraka sepi hari ini
isinya luruh membebani jantungku

aku kerontang hari ini,
mungkin setitik bintang-Nya menetesiku

kau merasuki aku, adam
mengurungku seperti singa, bermahkota
kilau emas dan taburan permata
mengunyahku seperti kutu, bertahta
di atas cahaya, membara

udara selihai sutra menyeringai,
menyemai benih,
menumbuhkan cemara
yang lamban terbangun di dalam rahimku

neraka sepi,
isinya turun membunuh teman baikku

[FanFic] :re


Touka selesai mengeringkan cangkir terakhir. Langit serupa kaca merayapi jendela. Titik-titik putih turun ke tanah, mampir sejenak dalam bentuk sempurnanya sebelum meleleh ditelan aspal.

“Kau sudah tahu sejak lama ya?”

Touka hanya tersenyum. Ia menarik kursi terdekat dan duduk di sana. Tanpa melepaskan mata dari pemandangan di luar, ia bertopang dagu.

“Mengapa, Touka? Tidakkah menyakitkan melihatnya begitu dekat tapi bahkan tidak mengenalimu sama sekali?”

“Aku hanya akan terus melakukan apa yang sudah kuputuskan.”

Touka menelan ludah pelan-pelan. Ada pedih melekat di dadanya saat melakukan itu.

“Aku sangat berharap bahwa kau akan membantunya mendapatkan kembali ingatannya.”

“Apa bagusnya dari itu?”

“Tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya pasti membuat Kaneki juga menderita.”

Dunia sudah jauh lebih sakit dari semua itu. Kecil kemungkinan bahwa lelaki itu akan hidup begitu ingatannya kembali. Toh ia memang sudah mati ratusan kali. Menjadi ghoul adalah tragedi baginya.

“Kau tahu dia meminum kopiku siang ini?” tanya Touka. Ia membayangkan isak lelaki itu sejak menghirup aroma kopinya. Betapa sesak tenggorokannya menahan desakan air mata untuk meluncur deras.

“Ini kopi terbaik yang pernah aku minum, Nona.”

“Senang mendengarnya.”

Touka sungguh-sungguh mengatakannya. Sebab jika suatu hari ingatannya pulih, Touka tahu ke mana lelaki itu akan kembali. Touka menempelkan jari telunjuk ke kaca. Dengan dibantu jendela yang mengembun, ia menuliskan nama tempat itu.

jika air mataku menetes karena kekasih yang pergi,
maka sungai mengaliri pipiku saat kau pergi, ibu.

jika mimpi adalah jalan tunggal untuk menjumpaimu,
maka aku menolak terbangun, mendapati ketiadaanmu, ibu.

tapi potongan kue yang kau suapi,
dan gelak tawa yang menjejali mulut manis anak cucumu,
masih menyadarkanku bahwa itu sudah berakhir, ibu

mintakan maafku untuk Tuhan, ibu
aku bertobat,
demi rindu yang kuharap Ia sampaikan untukmu

adakah maaf bagi kami, duhai anak lelaki
deburan ombak mengantarmu ke depan kaki
sedangkan tangan lemah dan tubuh kotor kami
khusyuk bersujud kepada dunia yang tak berhati

akankah lemahnya empati dan bisik nurani
berbuah nyata menjadi doa di dini hari
akankah air mata yang tak seberapa
dan sesak di dada yang tak terlalu lama

sanggup mengubah neraka yang menyala
menjadi surga tanpa dahaga